Medan,
INTAIKASUS.COM - Ruang tunggu pemeriksaan kasus aliran dana bantuan sosial di Sumut oleh tim Kejaksaan Agung di Kejaksaan Negeri (Kejari) Medan tiba-tiba riuh oleh kedatangan perempuan muda berjilbab, Kamis (19/11).
Dengan napas tersengal, perempuan yang mengenakan jilbab biru itu langsung melongokkan pandangan ke ruang pemeriksaan.
Tak lama, ia bertanya kepada pria yang duduk di luar ruang pemeriksaan.
" Boleh masuk? Saya mau jumpai ayah saya," katanya. Perempuan muda berjilbab tersebut kemudian mengaku anak ketiga Kepala Lingkungan 12, Kelurahan Mandala, Kecamatan Medan Denai. Ia datang karena khawatir kondisi kesehatan ayahnya.
" Kasihan bapak. Gara-gara mau diperiksa ini jadi gak bisa tidur dia beberapa hari ini," kata perempuan yang enggan memberitahukan namanya ini.
Ia juga enggan memberitahu nama ayahnya.
Ia terus melongok ke arah dalam gedung dan gelisah. Menurutnya, tak seharusnya ayahnya diperiksa. "Kasihan bapak. Sudah tua. Sudah 30 tahun, bapak saya jadi kepling.
Bapak saya yang itu tuh, yang pakai lobe putih," katanya, sambil menunjuk ke arah ayahnya yang sedang diperiksa tim Kejagung di dalam ruangan.
Dua pria yang menunggu di luar, yang mengaku kepling, menimpali apa yang dirasakan perempuan tersebut. " Memang maunya jangan kepling yang diperiksa. Kami ini kan gak ada menerima. Jadinya repot kami kayak gini," ujar pria, yang mengaku kepling, tapi tak ingin memberitahu namanya.
Tak lama, seorang penyidik Kejagung keluar. Di saat itu, perempuan tersebut memohon agar dapat menemui ayahnya. Beruntung, tim penyidik membolehkannya masuk.
Perempuan tersebut pun langsung masuk ke ruang pemeriksaan, mendekati ayahnya, memeluknya, dan duduk di sampingnya.
Dalam pemeriksaan kemarin, lima kepling di Medan turut diperiksa. Dua di antaranya adalah Kepala Lingkungan II Kelurahan PB Selayang II, Kecamatan Medan Selayang Naili Sitepu, dan Kepling III Kelurahan Sikambing B, Kecamatan Medan Petisah, Pansum Gultom. Wartawan sempat mewawancarai Pansum usai diperiksa. Ia mengaku, diperiksa bukan sebagai penerima dana bansos, melainkan hanya ditanya soal keberadaan warganya yang diduga turut menerima dana bansos.
" Saya tadi ditanya, ada gak lembaga di lingkungan kita? Saya jawab, gak ada. Bahasa Inggris lembaganya. Center For Regional Development Analysis gitu. Saya ditanya kenal sama yang namanya ini, Naibaho? Saya bilang, enggak kena," kata Pansum. Pansum mengaku, telah dua kali diperiksa Kejagung. Pemeriksaan yang pertama, katanya, dilakukan sekitar sebulan lalu di Kantor Kelurahan Sikambing B.
"Waktu tim Kejaksaan Agung datang ke kelurahan, saya jawab gitu juga. Sebulan lalu mereka datang. Memang gak ada. Kalau ada ya saya bilang ada," ujar pria yang datang mengenakan seragam khas pegawai negeri sipil (PNS) ini. Saksi yang diperiksa sebagai penerima bansos, kemarin, 13 orang. Mereka adalah terdiri dari petinggi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi masyarakat, PNS, dan mahasiswa.
Ketua tim penyidik Kejagung dalam kasus dana bansos Victor Antonius, menyebut rata-rata yayasan penerima dana bansos yang dibentuk Pemerintah Provinsi Sumut menerima dana bansos di atas Rp 500 juta.
Viktor mengungkapkan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumut menerima Rp 2,9 miliar.
" Ada, itu yayasan-yayasan yang dibentuk oleh pemerintah. Contohnya yayasan kerajinan yang diketuai ibu Sutiyas itu. Kemudian KPU juga mendapat Rp 2,9 miliar," ujar Viktor sembari turun tangga dari lantai dua tempat pemeriksaan dilakukan. Ia mengatakan, dari 35 saksi yang dipanggil hari ini, hanya 13 yang datang. Salah satu yang menjadi saksi adalah lembaga mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU).
" Itu lembaga-lembaga mahasiswa juga. Ada dari Muhammadiyah (UMSU)," kata Viktor, sembari terus berjalan menjauhi wartawan. Di sisi lain, Ketua KPU Sumut Mulia Banuarea, mengatakan, sejak dirinya di KPU tahun 2013, tidak ada menerima aliran dana bansos.
" Selama saya menjadi Ketua KPU Sumatera Utara, tidak pernah. Coba dicek lagi, mungkin Pilgub kali. Saya memimpin sejak 2013. Gak ada," ujar Mulia.
Sementara, Ketua Umum Pengurus Wilayah Perhimpunan KB PII Ahmad Ghazali Lubis mengaku, menerima dana bansos pada 2014 sebesar Rp 100 juta. Uang tersebut diakuinya digunakan untuk mengadakan seminar sebanyak dua kali.
"Kami dapat 100 juta tahun 2014. Kami bergerak dalam bidang sosial, dakwah, dan pendidikan. Kami ditanya dana itu dipakai untuk apa saja. Saya jawab untuk dipakai seminar. Dua kali seminar," katanya.
Bansos Sumut Nol
Kasus bansos, yang kini disidik Kejaksaan Agung mungkin menjadi pembelajaran berharga buat Pemprov Sumut. Untuk 2016, Pemprov Sumut tidak mengalokasikan anggaran bansos dalam kebijakan belanja daerah.
Dalam buku ringkasan Rancangan Pendapatan Anggaran Belanja Daerah (R-APBD) Tahun 2016 yang diperoleh, tidak kelihatan poin anggaran untuk alokasi bansos dalam nomenklatur belanja tidak langsung. Yang ada, hanya belanja hibah dalam alokasi belanja tidak langsung sebesar Rp 2,1 Triliun (Rp 2.141.112.150.000,-). Besaran alokasi hibah ini selain di dalamnya dialokasikan untuk bantuan operasional sekolah (BOS), juga disebut untuk prioritas mendukung kebijakan Pemprov Sumut di bidang pendidikan dan sosial kemasyarakatan.
Menurut Anggota Komisi A DPRD Sumut Sutrisno Pangaribuan, meski tidak ada anggaran bansos tetap saja terlihat ada "intrik bansos" dengan maksud penyelasan hibah sosial kemasyarakatan.
"Bansos sih nol. Namun, tetap ada disebutkan hibah mendukung Pemprov Sumut di bidang pendidikan dan sosial kemasyarakatan," ujar Sutrisno via telepon seluler, Rabu malam.
Menurut Sutrisno, total rencana anggaran belanja hibah tersebut juga masih bisa dikategorikan besar.
" Meskipun hibah itu sudah termasuk untuk BOS, berarti hampir 25 persen APBD Sumut 2016 alokasinya ke hibah. Ini juga sangat rawan. Tetapi, ini kan belum final, karena masih rancangan," katanya. (Net)